KELAMPUNG.COM — Ketua Umum Cakra Surya Manggala (CSM), Dr. Mujizat Tegar Sedayu, S.H., M.H., IFHGAS, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 95/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024 yang memberi ruang bagi masyarakat turun-temurun untuk berkebun di kawasan hutan merupakan bom waktu hukum yang berpotensi melegalkan perusakan hutan secara halus.
Menurut Tegar, putusan MK itu bukan bentuk perlindungan terhadap hak masyarakat adat, melainkan celah baru bagi mafia tanah untuk melegitimasi perampasan kawasan hutan atas nama tradisi.
“Ini bukan perlindungan masyarakat adat, ini legalisasi halus terhadap perusakan hutan. MK seolah membuka pintu belakang bagi mafia tanah, lalu memberi mereka selimut moral bernama ‘turun-temurun’,” tegas Tegar di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Risiko Serius dan Batas yang Kabur
Tegar menyebut putusan MK tersebut sebagai produk hukum paling berisiko dalam dekade terakhir, karena tidak menetapkan batas yang jelas.
Menurutnya, tidak ada definisi siapa yang dimaksud masyarakat turun-temurun, tidak ada ukuran nonkomersialitas, dan tidak dijelaskan jenis kawasan hutan yang dikecualikan.
“Hukum tidak boleh kabur. Jika hukum kabur, yang berkuasa adalah tafsir. Dan ketika tafsir dikendalikan oleh kepentingan, maka yang lahir adalah legalisasi kejahatan,” ujarnya.
TNBBS di Lampung Jadi Contoh Dampak Nyata
Tegar menegaskan, putusan MK tidak bisa diterapkan secara umum di seluruh kawasan konservasi Indonesia, termasuk di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang membentang di wilayah Lampung Barat, Tanggamus, hingga Pesisir Barat.
“Kawasan konservasi itu wilayah sakral negara. Di sana hidup gajah, harimau, tapir, dan satwa dilindungi undang-undang. Jika MK tidak tegas, artinya negara sendiri yang menandatangani izin pemusnahan ekosistemnya,” katanya.
Ia menyoroti kondisi di Lampung Barat, di mana ribuan hektare kebun kopi berdiri di dalam kawasan TNBBS.
Menurutnya, banyak pihak berdalih bahwa lahan tersebut milik masyarakat turun-temurun, padahal faktanya sudah bersifat komersial.
“Lihat di TNBBS. Ada puluhan ribu hektare kebun kopi yang katanya milik masyarakat, padahal hasilnya dijual secara transaksional. Itu bukan nonkomersial, itu bisnis. Jangan bodohi publik dengan istilah adat untuk menutupi eksploitasi,” tegasnya.
Soroti SK Datin, Disebut Produk Administrasi Sesat
Selain putusan MK, CSM juga menyoroti penerbitan Surat Keputusan Data Tanah Instansi (SK Datin) di kawasan konservasi.
Tegar menyebut kebijakan tersebut sebagai produk administrasi sesat yang berpotensi menjadi pintu legal perusakan hutan.
“SK Datin di kawasan konservasi seperti di TNBBS, Tesso Nilo, dan Balai Raja adalah pelanggaran hukum terang-benderang. Pejabat yang menandatanganinya harus diperiksa. Negara sedang memproses kematian hutannya sendiri lewat surat resmi,” tegasnya.
Ia menegaskan, kebijakan tersebut menabrak dua undang-undang sekaligus, yakni:
UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang mengubah UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Desak Presiden dan Kejagung Bertindak
CSM mendesak Presiden RI Prabowo Subianto agar segera menginstruksikan penyelidikan dan evaluasi menyeluruh terhadap penerapan putusan MK dan penerbitan SK Datin di seluruh kawasan konservasi.
“Presiden harus turun tangan. Jangan biarkan mafia tanah berlindung di balik putusan MK atau kebijakan administrasi yang menyesatkan,” ujar Tegar.
Ia juga meminta Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) Kejaksaan Agung RI yang dipimpin Jampidsus Febriansyah untuk melakukan penindakan hukum terhadap pejabat atau pihak yang terlibat.
“Satgas PKH jangan diam. Ini waktunya membongkar jaringan perusakan hutan yang berlindung di balik surat dan putusan hukum,” katanya.
CSM Siap Tempuh Jalur Hukum
Tegar menegaskan, jika pemerintah tidak segera bertindak, Cakra Surya Manggala akan menempuh langkah hukum dan menggugat penerbitan SK Datin di kawasan konservasi.
“Kami akan ajukan gugatan. Negara tidak boleh melindungi kesalahan dengan dalih administratif. Negara harus berpihak pada hukum dan lingkungan, bukan pada pelanggar yang pandai menyamar jadi korban,” ujarnya.
CSM juga mendesak MK dan pemerintah untuk menerbitkan pedoman teknis tegas agar putusan MK tidak disalahgunakan.
“Definisikan pembuktian nonkomersial dan kategori kawasan hutan yang dikecualikan. Jangan biarkan putusan MK menjadi surat izin untuk menguasai hutan,” tegasnya.
Peringatan Keras: Negara Sedang Menandatangani Surat Kematian Hutannya Sendiri
Di akhir pernyataannya, Tegar memberi peringatan keras kepada pemerintah.
“Kami tidak anti masyarakat. Tapi kami anti terhadap kebohongan yang dibungkus kepentingan penghidupan. Jika putusan MK dan SK Datin terus digunakan untuk melegalkan keterlanjuran di kawasan konservasi seperti TNBBS, maka negara sedang menandatangani surat kematian hutan Indonesia,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah harus segera menghentikan segala bentuk manipulasi kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.
“Hentikan legalisasi berkedok kepentingan masyarakat. Hentikan pengkhianatan terhadap undang-undang konservasi. Hentikan permainan birokrat yang menjual kawasan konservasi demi kepentingan politik,” pungkasnya.***

